Review Film Psikologi Hari Ini: What They Don't Talk About When They Talk About Love (2013)

(sumber: movfreak.blogspot.com)

Film ini sudah rilis tahun 2013, tapi barusan nonton sekarang karena relate dengan ranah pekerjaanku. Jika dilihat berdasarkan sinopsis, film ini menceritakan bagaimana percintaan siswa disabilitas yang bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB). Kebetulan settingnya di SLB yang khusus untuk disabilitas netra. Bagi seorang newbie penikmat film-film dengan alur yang mudah dicerna, film ini kurang bisa langsung dipahami. Aku merasa alurnya maju mundur dan tidak terlalu banyak dialog di dalamnya. Peran guru di film itu gak terlalu ditampakkan. Siswa netra dalam film ini bisa merasakan cinta, meski mereka enggak bisa 'melihatnya'. Mereka merasakannya. Mungkin dari sentuhannya, suaranya, hingga bagaimana 'pasangannya' memenuhi hasratnya. Saya agak kaget melihat sinopsis bahwa pemeran Fitri (diperankan Ayushita), memiliki ketertarikan seksual pada sesuatu hal berbau supranatural, semacam roh hantu dokter. Karakter Edo, anak ibu warung nasi Ibu di SLB (diperankan Nicholas Saputra) juga mengalami disabilitas bisu Tuli. 

Seseorang dengan ketunaan Tuli, terkadang juga disertai dengan bisu atau hambatan dalam berbicara. Kenapa bisa terjadi? karena mereka enggak bisa mendengar bagaimana 'feedback' pengucapan yang benar atas suatu kata. Mereka hanya membaca bibir, sementara terkadang ada kata yang perlu penekanan atau intonasi tertentu. Jika kamu bertanya kenapa aku gak menyebut Tuli sebagai tuna rungu dan menuliskan huruf kapital pada huruf T, maka itu ada alasannya. 

Bagi mereka yang memiliki gangguan pada pendengaran, penyebutan tuna rungu dianggap membuat mereka merasa terhambat dan enggak berdaya. Sementara T kapital pada kata "Tuli" menjadi simbol bahwa mereka memiliki kelompok sendiri dalam masyarakat. Semacam identitas diri di masyarakat. 

Tapi yang ingin ku sampaikan adalah meskipun aku nggak bekerja di SLB, namun di sekolah kejuruan yang memiliki program inklusi, percintaan diantara anak disabilitas juga terjadi. Namun karena ketunaannya mayoritas adalah slow learner dan grahita, maka mereka enggak ada kendala dalam pengelihatannya. Mereka bisa dengan jelas melihat orang yang membuat mereka tertarik. Akan tetapi, slow learner dan grahita adalah ketunaan dimana mereka memiliki hambatan dalam memahami sebuah informasi, sehingga diperlukan waktu lebih lama ataupun penjelasan yang lebih sederhana, supaya mereka mengerti. 

Biasanya kendalanya justru ada pada bagaimana hubungan percintaan tersebut berlangsung. Umur hubungan percintaan mereka cukup singkat, sekitar tiga minggu dan paling lama satu bulan. Sepertinya gak banyak orang yang tahu bahwa siswa disabilitas pun bisa merasakan ketertarikan dengan lawan jenis, bahkan menjalin hubungan pacaran (meski ala-ala).

Beberapa guru non inklusi selalu kaget jika aku bercerita tentang ini, "loh, anak-anak itu bisa pacaran juga? ngerti yo suka suka gitu". Menurutku, nafsu itu adalah salah satu insting dasar manusia alias biologis. Seakan di otak kita sudah tertera chip untuk memiliki kemampuan dan kemauan "berkembang biak" atau "meneruskan keturunan". Sama seperti makan dan bertahan hidup, kurasa itu sudah tertanam sebagai kebutuhan dasar. Kehidupan hanya perlu mengajari bagaimana memenuhi kebutuhan makan itu dengan tepat, seperti tidak mencuri, atau memakan makanan yang tidak layak, dan sebagainya.

Sama seperti siswa disabilitas, apalagi remaja yang masih suka ikut-ikutan teman sebayanya. Diperkuat juga dengan media sosial yang secara gamblang memperlihatkan kisah cinta remaja, membuat mereka berpikir bahwa mereka harus pacaran. Mereka memang bisa suka pada temannya dan menjalin hubungan pacaran. Namun mereka kesulitan dalam menjalankannya, perannya seperti apa, batasannya, seharusnya seperti apa, dan sebagainya.

Sama seperti yang disampaikan di filmnya, bahwa mereka yang disabilitas juga bisa merasakan ketertarikan pada seseorang. Sekalipun ketunaan mereka ada pada panca indera (Netra, Tuli, Bisu), mereka tetap bisa merasakannya dengan cara yang lain. Sebagai guru, aku bertugas mengawasi dan menjelaskan pada mereka batasan-batasan tersebut supaya enggak mengganggu sekolahnya. 

Begitulah review sangat singkat terkait film dan ngobrolin tentang siswa disabilitas. Terimakasih sudah membaca!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Film Psikologi Hari Ini: Dua Hati Biru (2024)

Review Film Psikologi Hari Ini: Joker: Folie à Deux (2024)

Review Film Psikologi Hari Ini: Inside Out 2, Pubertas Riley hingga Anxiety Attack! (2024)