Ceritaku: PKPP Solo, Wisata dan Kekecewaan


Halo. Saat ini perjalanan perkuliahanku berada tahap semester 4. Di semester ini adalah waktunya aku mencoba untuk berlatih menjadi psikolog, dengan mengambil beberapa kasus yang perlu aku tangani. Gak tanggung-tanggung, aku perlu menyelesaikan total 7 kasus. Wow, angka yang tidak sedikit untuk ukuran mengerjakan tugas.

Ini adalah ceritaku saat menyelesaikan kasus pertamaku, yaitu kasus psikotik. Kalau dalam buku DSM V dan PPDGJ III, psikotik itu adalah kondisi dimana seseorang mengalami waham atau delusi dan juga halusinasi. Meski di tempatku berada terdapat rumah sakit jiwa, sayangnya kampusku enggak melanjutkan MoU dengan mereka. Alhasil, mau tidak mau, aku harus mencari tempat diluar kota. Dari berbagai kemungkinan, pilihan jatuh pada rumah sakit jiwa yang berada di Surakarta. Selama sebulan, aku akan berada di Solo. 

Kupikir awalnya, aku akan menceritakan bagaimana kehidupanku sebagai anak kos ataupun anak rantau dengan segala homesick-nya. Memang, pasti ada hal hal sebagai anak rantau yang aku rasakan. Tapi, ini lebih dari sekedar itu. Solo, memberikan banyak pembelajaran untuk aku. 

Solo, mengajarkan tentang keberanian. Keberanian untuk mendekat dan berbincang dengan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ), kalau yang dalam kitab suci psikologi, kerap disebut skizofrenia, gangguan halusinasi dan waham atau delusi yang dialami oleh seseorang. Setiap orang, ataupun abang ojek yang kutungganggi tiap bepergian di solo, selalu kaget ketika tahu kalau aku magang di RSJD. "Ngobrol sama orang gila dong mba?"

Yes. Aku masuk ke bangsal, duduk, ngobrol dan bercanda bareng mereka. Boro-boro kepikiran ngobrol sama mereka yang skizofrenia. Dulu selalu takut kalau harus melakukan ini. Awalnya pasti takut. Jelas, karena belum ada pengalaman. Setelah dicoba, eh yaa lumayan lah. Menambah pengalaman dan skill baru. Mereka kayak orang biasa aja. Bisa bercanda, bisa nyambung kita ngobrol apa. Meskipun ada juga yang tatapannya kosong, menyendiri, tiba tiba teriak dan ngobrol ngehalu. Tapi ketika tahu apa 'alasan' mereka dibawa kesana, agak bikin merinding. Kayak, wow. Aku sedang berbincang dengan orang yang hampir membunuh ibunya sendiri. Agak ngeri jika dibayangkan oleh orang awam. Ternyata masih banyak stigma dari orang luar terkait dengan gangguan ini. Selain mengatasi orang yang mengalami, tugas psikolog juga berhenti melanggengkan stigma yang ada.

Tentang eksplorasi. Kalau kata temanku, "orang orang ini ke solo untuk wisata. Kita malah untuk PKPP". Dari kalimat ini, pada akhirnya kegiatanku selama sebulan di Solo, juga disisipi dengan kegiatan 'berwisata'. Kita pergi ke beberapa destinasi: Kraton Surakarta, Pura Mangkunegaran, Solo Safari, dan nonton Wayang di taman Sriwedari. Aku pun menyempatkan diri untuk mencoba kuliner Solo, seperti nasi liwet, selat solo, nasi timlo, es dawet pasar gede, serabi, dan lain lain. Termasuk mencicipi teh solo yang sangat nikmat, yang ternyata merupakan campuran dari berbagai teh. Aku beli oleh oleh di pasar gede dan membeli teh tersebut. Kuberikan pada Kepala Sekolahku, mamaku, mama kekasihku, dan dua rekan kerjaku. Mereka harus coba!

Tentang kekecewaan. Di luar dugaan, semua yang awalnya berjalan lancar, mendadak berubah drastis. Bayangkan, klien yang jaraknya hanya sepuluh menit dari RSJD, berpindah menjadi dua jam dari Solo. Jadi, klienku dipindahkan ke sebuah panti di salah satu kabupaten di Jawa Tengah. Dan pastinya bukan di Solo. Betapa hancur impianku. Yang awalnya aku adalah yang paling dekat untuk melakukan home visit, seketika menjadi yang paling jauh untuk melakukan ini. Padahal tinggal sedikit lagi. Aku cek biaya untuk perjalanan kesana. Masyaallah, cukup mahal. Hiks. Detik itu juga, aku ingin pulang dan nangis bombay. Sayangnya saat itu aku sedang ada di rumah klienku, karena ada tes yang belum aku berikan padanya.

Tentang merasa gagal. Mungkin terasa lebay bagi orang lain, namun ini menjadi petaka bagiku. Karena apa? Karena waktuku di Solo hanya tinggal dua pekan. Aku enggak bisa cari klien baru dan memperpanjang magang, karena harus bekerja lagi di Surabaya. Padahal langkahku hanya tinggal sedikit lagi. Dengan segala tangis, aku menelpon mama dan kekasihku, berdiskusi mengenai bagaimana enaknya. Aku sudah pasrah untuk melepas kasus psikotiku, dan sudah siap mengerjakan kasus lainnya terlebih dahulu. Aku bahkan sudah siap untuk mencari kasus psikotik di salah satu rumah sakit umum di Surabaya saja. Aku bahkan sempat menyalahkan diriku sendiri, kenapa selama sebulan gerakanku lambat sekali? Padahal kampus lain bisa langsung bergerak di hari ketiga mereka magang di RSJD. Aku sampai bermalam di hotel untuk menenangkan diri, sendirian. Meskipun, itu justru membuat dua temanku khawatir karena aku sendirian dalam keadaan seperti itu.
Kemudian, tercetuslah ide untuk menyampaikan pada pembimbing di RSJD tentang kondisi ini dan menyusul klienku ke kabupaten tersebut. Masuk akal namun tidak masuk akal dari segi budgetnya. Tapi mama meyakinkanku. Baiklah, kita coba. 

Tentang merasa bangkit. Aku mulai mendapatkan harapan ketika orangtua klienku memperbolehkan aku untuk menjenguk anaknya kesana. Mereka bahkan memberikanku kontak yang bisa dihubungi disana. Pembimbingku juga setuju dengan usulanku untuk menyusul klien ke kabupaten tersebut, bahkan membantu untuk menghubungi pihak terkait. Beliau juga memperbolehkan aku untuk pulang lebih dulu ke surabaya, karena aku memperhitungkan budget dan ada teman yang menemani kesana. Aku mulai mendapatkan secercah harapan. Meski begitu, badanku masih terasa berat untuk bergerak. Merasa seperti, kenapa usahaku malah lebih berliku? Why me?. Tapi aku langsung buru buru memotivasi diriku sendiri dan mengingat segala kebaikan dari semesta yang telah diberikan padaku, sekaligus berpositif thinking tentang kejadian ini.

Ternyata aku meninggalkanmu lebih cepat dari yang seharusnya. Tidak sampai akhir magang, aku harus pulang ke Surabaya, untuk pergi ke destinasi yang lain. Dan kini, aku sedang bersiap untuk menjalani case conferenceku yang pertama.


Thank you, solo. Meskipun sangat menggiurkan untuk bisa lebih lama merasakan anak rantau, tapi kota Surabaya sudah memanggil manggil 'areknya' untuk pulang. Kalau kata temanku, semoga kita bisa berjumpa lagi dengan hati yang lebih ringan!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Film Psikologi Hari Ini: Dua Hati Biru (2024)

Review Film Psikologi Hari Ini: Joker: Folie à Deux (2024)

Review Film Psikologi Hari Ini: Inside Out 2, Pubertas Riley hingga Anxiety Attack! (2024)