Opini Awam: Program Pendidikan Inklusi di Sekolah Menengah Kejuruan, Ide Apik yang Belum Matang

sumber gambar: https://depositphotos.com/photos/inclusive-education.html

Pendidikan inklusi tidak hanya ada di sekolah menengah atas saja. Kini, program ini juga merambah sekolah menengah kejuruan, yang berfokus lebih banyak pada kegiatan praktek. Hal ini tentu disambut dengan antusias oleh para orang tua yang mempunyai anak berkebutuhan khusus. berkebutuhan khusus yang terkedala pada kemampuan daya pikirnya, kerap dimaksimalkan pada hal motorik kasarnya. Mereka dilatih atau diberikan keterampilan yang nanti harapannya dapat menjadikannya mandiri. Katakanlah, siswa berkebutuhan khusus diberi keterampilan menjahit supaya nantinya dapat membuka usaha jahit sendiri tanpa harus ikut melamar kerja pada perusahaan lain, atau bekerja pada posisi yang memerlukan pemikiran yang ‘mendalam’. Meski kedengarannya sangat indah dan menjanjikan, pada kenyataannya program ini bisa dibilang kurang matang. Di lapangan, ternyata ada banyak hal yang perlu dipersiapkan maupun dibenahi. Bahkan mungkin perlu dikaji ulang, apakah perlu ada program inklusi di sekolah menengah kejuruan, atau siswa disabilitas cukup melalui kursus atau les secara singkat. Mari kita uraikan satu persatu benangnya. 

Hal pertama adalah peraturan mengenai siswa berkebutuhan khusus yang seperti apa, yang diperbolehkan bersekolah di sekolah reguler yang menyediakan program inklusi. Salah satu perbedaan antara Sekolah Luar Biasa (SLB) dan Sekolah Inklusi adalah jenis atau tingkat keparahan disabilitasnya. Artinya, ada beberapa anak dengan kategori disabilitas berat yang tentu saja tidak mampu untuk mengikuti pembelajaran di sekolah reguler. Sehingga tentu anak disabilitas parah ini akan lebih tepat apabila dimasukkan ke dalam SLB. Sekolah harus membuat kriteria seleksi, karena mempertimbangkan porsi siswa disabilitas di sekolah reguler, kemampuan guru, dan ketersediaan fasilitas pembelajaran. Uniknya, ini terkadang ‘membutakan’ orang tua. Adanya kesempatan bagi anak berkebutuhan khusus untuk masuk ke sekolah umum, membuat banyak orang tua memaksakan diri untuk anaknya bisa masuk dan diterima disana, tanpa melihat bagaimana kesiapan dan kemampuan anaknya dalam menjalankan pembelajaran di sekolah. 

Singkatnya, terkadang orang tua tidak realistis. Ada anak disabilitas yang belum mampu melakukan bina diri dengan baik, dipaksa masuk ke sekolah inklusi. Pikir kami, bagaimana bisa? Sebagai guru pendamping khusus yang berada di garda terdepan dalam berhadapan dengan orang tua, tentu menyampaikan pertimbangan ini. Meski begitu, mereka tidak gentar. Mereka masih berupaya, mulai dari cara yang halus hingga yang cukup menantang, seperti bertemu kepala sekolah sambil membawa saudaranya yang merupakan anggota perlemen penting. Bahkan kami memang sengaja tidak menuliskan kriteria tingkat IQ yang diterima kepada khalayak umum atau pendaftar. Pertimbangannya adalah ada beberapa ‘oknum’ orangt ua yang terkadang berusaha ‘curang’ dengan meninggikan IQ anaknya saat tes. 

Mungkin beberapa orang akan terkejut, apakah orang tua dapat sebegitu nekat melakukannya. Kejadian di lapangan, itu bisa saja terjadi. Hal ini berdasarkan evaluasi bahwa tidak sesuainya hasil tes dengan kondisi dan kemampuan anak yang sebenarnya. Kami juga mengevaluasi bahwa terkadang orang tua tidak peduli dengan apa yang kami ajarkan, yang penting anak dapat memperoleh ijazah sekolah umum tersebut. Apakah motivasi orang tua untuk menyekolahkan anaknya di sekolah umum sampai memaksa sedemikian rupa, hanya demi gengsi saat ditanya tetangga? Sebelum pada emosi, perlu saya tekankan bahwa tidak semua orang tua seperti itu. Saya juga bertemu dengan orang tua yang mampu berlapang dada menerima kondisi anak, atau bersedia mengikuti saran kami untuk memberikan les tambahan bagi anak. Semakin jauh mengevaluasi, hal lain yang kami temukan adalah orang tua memaksa anaknya untuk bisa masuk ke sekolah umum, lantaran uang komite yang ‘lebih murah’ daripada SLB. 

Yup, kali ini berkaitan dengan kemampuan finansial orang tua. Hal kedua adalah kesiapan dari guru reguler atau pengampu mata pelajaran. Sepertinya, kehadiran siswa inklusi di kelas reguler masih menjadi sebuah ‘beban’ bagi guru. Mari kita berpikir secara terbuka. Hal ini bukan berarti mereka membenci anak berkebutuhan khusus. Akan tetapi, beban kerja berat untuk mengajar berpuluh-puluh siswa reguler dan belum lagi ditambah tugas administrasi yang menggunung, plus minimnya pengetahuan dan kemampuan guru tersebut dalam menangani siswa disabilitas, sukses mendominasi perasaan dan pikirannya. Saking tidak tahunya, mereka terkadang kaget jika ada anak berkebutuhan khusus yang secara visual nampak normal, bahkan bisa mengendarai motor. 

Belum lagi, tidak adanya pedoman dalam pelaksanaan program inklusi, membuat guru reguler bingung dalam memodifikasi materi, capaian siswa, maupun standar pemberian nilai. Alhasil, semua akan dikembalikan kepada guru yang bersangkutan, yaitu guru pendamping khususnya. Tentu saja, tidak semua guru pendamping khusus memiliki keahlian di bidang yang ditekuni oleh guru regulernya. Sehingga, memodifikasi materi masih menjadi tugas guru pendamping khusus, yang belum tentu kami sendiri memahami materinya. Sehingga terkadang, ketika membuat soal pun, kami bahkan tidak yakin apa jawaban dari soal tersebut. Pada akhirnya, guru pendamping khusus ikut mempelajari mata pelajaran siswa menengah kejuruan. Sisi positifnya adalah kita ikut belajar ilmu baru, sih. Namun terkadang menjadi bingung, karena status kami disana bukanlah shadow teacher. Kemudian permasalahan magang untuk siswa berkebutuhan khusus. Sekolah menengah kejuruan tentu lekat kesannya dengan kegiatan magang. 

Magang disini adalah siswa-siswa tersebut ‘bekerja’ di perusahaan yang menjadi rekanan sekolah selama kurun waktu tertentu, yaitu biasanya 3 hingga 6 bulan lamanya. Tentu selama magang, siswa akan diberi tugas selayaknya bekerja di tempatnya magang. Idealnya, setiap perusahaan wajib menerima atau setidak-tidaknya turut serta dalam pemberdayaan disabilitas. Namun pada kenyataannya di lapangan, hal itu tidaklah mudah. Belum banyak perusahaan yang bersedia membuka kesempatan bagi anak berkebutuhan khusus untuk bekerja di tempat mereka.

 Mari kita coba sudut pandang sebagai pemilik usaha. Sekali lagi, kurangnya pengetahuan terkait anak berkebutuhan khusus kerap menjadi hambatan. Perusahaan juga tidak ingin menanggung resiko jika terjadi sesuatu pada perusahaannya atas ulah anak berkebutuhan khusus yang kesannya ‘diluar kendali’. Intinya, masih terdapat stigma yang melekat di masyarakat akan anak berkebutuhan khusus. Bahkan dalam mencari tempat magang, ini diserahkan kepada guru pendamping khususnya. Padahal dalam struktur sekolah, hal ini menjadi tanggung jawab bagian lainnya, karena terkait dengan kerjasama dengan pihak luar. Sehingga, guru pendamping khusus mendapatkan tambahan jobdesk, yaitu sekaligus menjadi humas untuk mencari tempat magang. 

 Akhir kata, sepertinya program inklusi memang perlu dimatangkan kembali dari segi konsep, pelaksanaan, uji coba, hingga evaluasi. Terutama apabila program ini diterapkan di sekolah menengah kejuruan, dengan banyaknya praktek dan juga magang. Perlu juga adanya upaya dalam mengatasi stigma yang melekat pada anak berkebutuhan khusus dan juga SLB.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Film Psikologi Hari Ini: Dua Hati Biru (2024)

Review Film Psikologi Hari Ini: Joker: Folie à Deux (2024)

Review Film Psikologi Hari Ini: Inside Out 2, Pubertas Riley hingga Anxiety Attack! (2024)