Review Film Psikologi Hari Ini: Budi Pekerti (2023)
![]() |
sumber: parapuan.co |
Barusan aku menonton film berjudul "Budi Pekerti". Film ini memenangkan 17 nominasi piala citra di Festival Film Indonesia (FFI), lho. Filmnya menceritakan mengenai kehidupan seorang guru BK bernama Bu Prani, karena viralnya video dirinya yang berseteru dengan seseorang di tempat penjual putu. Sayangnya viralnya video tersebut bukan karena bu Prani yang berani menegur orang yang diduga menyerobot, namun karena bu Prani terlihat marah dan melontarkan ucapan kasar kepada ibu penjual putu legendaris yang sudah sepuh. Jika dilihat dari sisi psikologi, ada banyak hal yang bisa aku tangkap dari film ini.
Agresi di media sosial
![]() |
sumber: parapuan.co |
Agresivitas di dunia media sosial sangat tinggi. Anonimitas akan membuat kita lebih berani untuk bertindak karena tahu bahwa kita mungkin bisa kabur atau sembunyi dari dampak yang akan terjadi. Tangan kita sangat mudah mengetikkan sesuatu di media sosial, tanpa harus memperdulikan apakah orang yang kita komentari akan merasakan sakit hati atau tidak. Ini sesuai dengan jurnal berjudul Hubungan Antara Anonimitas dengan Kecenderungan Melakukan Agresi Verbal Pengguna Media Sosial pada Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta (2022),
"Kemudahan berkometar dengan bersembunyi dibalik akun media sosial membuat banyak orang bebas mengutarakan kebencian mereka terhadap orang lain, dengan anggapan bahwa apa yang mereka tulis adalah hal yang wajar"
Kita mungkin lupa, (atau sengaja tidak peduli) jika di dunia nyata, orang yang kita komentari adalah manusia juga. Mereka punya kehidupan, pekerjaan, harus mengerjakan kegiatan harian seperti berbelanja, mengatar anak, dan sebagainya.
Film ini juga menyajikan betapa chaos-nya segala permasalahan sosial media ini, dengan segala klarifikasi gak berkesudahan, pencemaran nama baik, sensor yang pada akhirnya 'gak berguna', perizinan semacam informed consent, dan sebagainya. Sepanjang melihat film ini, rasanya melelahkan. Sejenak jadi ingin rehat dari media sosial.
Informed consent
![]() |
sumber: depositphotos.com |
Singkatnya, Informed consent ini adalah suatu bentuk persetujuan, yang biasanya tertulis. Informed Consent diberlakukan dengan latar belakang bahwa setiap orang memiliki hak atas dirinya sendiri, termasuk ketika harus dilakukan tindakan kepada dirinya. Informed Consent juga digunakan sebagai alat bukti bagi tenaga kesehatan/medis seperti dokter atau psikolog dalam mengambil keputusan terapi/penyembuhan, sehingga tenaga medis akan terlindung dari suatu tuntutan atau gugatan yang dilayangkan oleh pasien atau keluarganya, jika gagal dalam upaya penyembuhan.
Terkait dengan informed consent yang dilakukan Tita kepada mbok penjual putu, perlu diperhatikan. Sekalipun mbok penjual putu telah mencukupi umur untuk memberikan pernyataan dan keputusan (diatas 17 tahun), namun mbok penjual putu telah memasuki usia lansia (lanjut usia). Dalam usia lanjut usia ini tentu ada kemungkinan penurunan kognitif, sehingga akan erat kaitannya terhadap kemampuan mencerna, memahami informasi, dan memberikan keputusan. Sehingga, tetap diperlukan persetujuan dari pihak keluarga, seperti anak, untuk memberikan keputusan tersebut. Hal ini sesuai dengan jurnal berjudul Informed Consent Dalam Penanganan Pasien Penyandang Disabilitas Mental (2020),
"Informed Consent ini sebetulnya harus diberikan kepada pasien yang bersangkutan, namun ada pengecualian yaitu dalam hal pasien belum cukup umur, lanjut usia (lansia), mengidap gangguan jiwa, serta pasien yang dalam keadaan tidak sadarkan diri"
Dalam hal ini, sebenarnya Tita telah jujur bahwa dirinya sudah meminta "ACC" dari mbok penjual putu. Sayangnya Tita masih kurang tepat, karena seharusnya Tita meminta izin dari anaknya mbok penjual putu. Sayang sekali memang. Mungkin saja betul jika anak mbok penjual putu justru memaksa ibunya untuk berjualan, dan membuat ibunya kelelahan. Sayangnya tita perlu "ACC" dari anaknya untuk bisa menyampaikan pada khalayak akan kondisi si ibu.
Beratnya menjadi seorang pahlawan tanpa tanda jasa
![]() |
sumber: unsplash.com/@neonbrand |
Selain itu, aku bisa menyetujui bahwa menjadi guru itu berat. banget hahaha. Aku pribadi adalah seorang guru. Terutama dalam hal 'digugu dan ditiru'. Bahkan ketika kenakalan siswanya terjadi karena dampak teman atau pergaulan, selalu guru yang akhirnya terlibat atas "ketidakbecusan mendidik siswa". Selain itu, mendidik satu anak saja pusing, apalagi jika jumlahnya lebih dari tiga puluh siswa, satu kelasnya. Aku salut sih sama bu Prani yang punya program Refleksi untuk siswa-siswanya. Kadang kita memang perlu bicara empat mata dengan siswa yang bermasalah, ketimbang harus menasihatinya di depan teman-teman (meski ini juga perlu).
Guru adalah manusia biasa, yang mendapatkan nama tambahan "tanpa tanda jasa". Ada kalanya guru melakukan kesalahan dalam melakukan pengajaran maupun pendidikan kepada siswanya. Dalam film ini bu Prani memberikan pembelajaran 'ekstrim' kepada salah satu muridnya, yaitu berpartisipasi dalam penggalian kuburan bagi orang yang telah meninggal dunia. Tanpa disadari oleh Bu Prani, hal ini memberikan dampak lain dari yang diharapkan, yaitu adanya munculnya minat yang 'unik' dari siswa tersebut.
Akhir kata, sebenarnya masih banyak hal yang bisa dipetik dari film ini. Apalagi jika kamu benar-benar menyimak setiap detail ucapan, dan kata-kata para tokohnya. Film yang layak ditonton!
Komentar
Posting Komentar