I Lost My Fur Child: Gimana rasanya berduka?

Beberapa waktu yang lalu, aku membahas tentang fase atau tahapan berduka. Sekarang, malah aku yang mengalami dan sedang berproses di dalamnya. Aku baru saja kehilangan anabul alias anak bulu, yaitu kucingku. Definisi hilang yang benar-benar hilang, karena tiba tiba seperti lenyap tanpa aku tahu kabarnya hingga saat ini.
Aku jadi punya kesempatan untuk bisa merasakan dan membagikan, apa sih yang dirasakan saat proses berduka?
Setiap orang bisa mengalami perasaan dan pemikiran yang berbeda, tapi biasanya sih tidak jauh berbeda. 

Berduka itu rasanya seperti langit itu tidak sama lagi, seperti hari sebelumnya. Jika biasanya sore hari itu adalah waktu yang santai dan suka cita melepas lelah setelah kerja, sore itu rasanya seperti gelap. Meskipun cuaca sore saat itu terang dan terik, tapi hati rasanya hampa dan tidak ada rasa. 

Berduka itu, membuat kita setuju bahwa kesialan itu tidak ada di dalam kalender. Padahal pagi harinya, aku masih melihat dia, dan aku pergi bekerja seperti hari normal lainnya. Tiba tiba saat sore menjelang malam, seperti tersambar petir. Keadaan berubah. Begitu cepatnya.

Berduka itu adalah tiba tiba ada perasaan bersalah ketika kita sedang bahagia (di tengah proses berduka itu). Pikiran kita seakan berkata "kok kamu senang senang sih? Kamu kan tidak tahu nasib anabulmu di luar sana? Siapa tahu dia kedinginan, dia kelaparan. Kamu malah senang senang". Kayak, seharusnya aku tidak boleh se-senang ini.

Berduka itu juga seperti merasa bersalah ketika waktu yang bisa kamu gunakan untuk mencari anabul, tapi malah kita gunakan untuk, let say, nongkrong di cafe sama teman. Atau sekedar tiduran bermalas-malasan sambil main HP. Seakan, "yaa kalau bisa sih 24 jam mu itu bener bener mencari anabulmu yang hilang"

Andaikan kalian tahu, berduka tapi kamu harus tetap menjalani hidup, adalah bagian tersulitnya. Ketika berduka, kamu mungkin rasanya ingin di kamar saja, menangis, dan merenung. 

Sayangnya, kehidupan luar tidak mau tahu apa yang terjadi padamu. Kamu tetap punya pekerjaan, dimana kamu harus tetap bangun pagi untuk masuk dan mengajar dan meladeni sejumlah pertanyaan konyol muridmu serta keluh kesah orangtua murid. 

Kamu juga harus tetap berusaha menyelesaikan revisian untuk studimu, meski hati dan pikiran sedang kacau-kacaunya. Kayak, ini si dosen apakah tidak mau mengerti jika aku barusan kehilangan anabulku dengan memperpanjang durasi waktu pengumpulan naskah? :(

Kamu juga harus bisa berpura-pura baik baik saja untuk anabulku yang satu lagi, dimana dia juga masih perlu diurus.
Kebayang kan, misalnya ada ibu kehilangan anak pertamanya namun masih ada anak kedua yang perlu diberi perhatian? Kalau kita terlalu berduka, yang ada, anak kedua akan protes.  Kucingku yang satunya juga gelisah karena biasanya dia tidak sendirian. Jadi, aku harus menenangkan perasaanku, agar kucingku yang satu lagi tidak ikut merasakan hal yang aku rasakan. 

Berduka itu juga ada perasaan bersalah karena merasa pasrah. Ketika kita sudah pasrah karena merasa semua makhluk adalah milik Tuhan, namun ada suara yang berkata "kok kamu pasrah, sih? Kasihan lo anabulmu minta kamu jemput" ini pun setelah aku melakukan segenap cara untuk menemukan anak bulu. Aku jadi bingung, sebaiknya aku pasrah atau tetap berusaha mencari? Kadang ingin percaya bahwa Tuhan akan melindungi makhluknya, tapi sebagai manusia yang tidak ngerti apa apa, tetap merasa khawatir.
Yah, mungkin aku aja yang kurang percaya pada Tuhan. Tapi kurasa, semua orang yang sedang berduka akan merasakan fase ini.

Kalau dibilang, aku lagi di tahap berduka yang mana? Kurasa, aku masih ada di tahap bargaining. Karena, aku beberapa kali berdoa dan memohon kepada Tuhan untuk bisa mengembalikan anabulku. Aku juga berjanji akan merawatnya dengan lebih baik lagi. Tapi ya entahlah, apakah Tuhan bersedia mengabulkan permintaanku.

Berduka membuatmu merasakan emosi secara setengah setengah. Bahagia banget ya tidak, sedih banget ya tidak. Semua standar saja. Bahagia ya bahagia secukupnya. Siapa yang menyuruh begitu? Perasaan, otak kita, dan berpikir bahwa anabulku pasti bisa tahu/merasakan jika aku bersenang-senang. Ada kalanya merasa janggal, seperti ada yang kurang. Lalu memicu overthinking seperti apakah selama ini aku sudah merawatnya dengan baik? Jika iya, kenapa Tuhan justru malah menghilangkannya? Apakah tanggung jawabku atas anabulku sudah selesai, dan ini giliran waktu orang lain yang mengurusnya? Bagaimana jika dia ternyata mati tertabrak? Gimana kalau ternyata dia sengaja diambil dan diperlakukan tidak baik oleh orang yang hanya sengaja cari untung?

Berduka, aku tahu ini hanya fase. Akan kubiarkan diriku merasakan kehampaan dan kesedihan. Mungkin lambat laun aku bisa 'mengikhlaskan'. Mengikhlaskan semuanya, termasuk takdirku, ikhlas kalau ternyata dia diasuh oleh orang lain, ikhlas kalau memang dia mati tertabrak, dan lainnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Film Psikologi Hari Ini: Dua Hati Biru (2024)

Review Film Psikologi Hari Ini: Joker: Folie à Deux (2024)

Review Film Psikologi Hari Ini: Inside Out 2, Pubertas Riley hingga Anxiety Attack! (2024)