Bulan Ramadan, Bulan yang Pas untuk Belajar Memaafkan!

Halo semua. Aku menulis artikel ini di sela-sela kesibukanku dan kebetulan lagi di bulan Ramadan. Artikel yang aku tulis ini merupakan rangkuman dari Live Instagram yang aku lakukan, berkolaborasi dengan IDN TIMES terkait seni memaafkan. Kamu sendiri mungkin menyadari bahwa salah satu hal yang ingin kita capai di bulan suci ini adalah menjadi pribadi yang baru dan menjadi yang lebih baik dari sebelumnya. Di bulan Ramadan ini kita juga diminta untuk gak menyimpan dendam, memaafkan kesalahan orang lain maupun diri kita. Bahkan saat Idul Fitri, kita saling maaf memaafkan bukan? Selain dapat dijelaskan dalam sudut pandang agama/religi, memaafkan di bulan Ramadan juga bisa dijelaskan dalam sudut pandang Psikologi, lho.

Sumber: unsplash.com/faithgiant

Ramadhan memberikan ruang spiritual dan emosional yang mendukung proses memaafkan, karena suasananya penuh ketenangan, introspeksi, dan dorongan untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Belajar memaafkan di bulan ramadhan dianggap tepat karena ini adalah salah satu cara kita untuk meneladani sifat Tuhan yang maha pemaaf dan pengampun. Ramadan sendiri selalu dianggap sebagai momentum penyucian diri dari rasa marah, dendam (membebaskan diri dari rasa sakit dan menemukan kedamaian batin). 

Ada yang bilang, memaafkan itu seni

Memaafkan itu seperti melukis. Dia gak bisa diciptakan dengan tergesa-gesa. Pelukis perlu memilih warna yang tepat, mengatur setiap goresan dengan hati-hati, dan menyesuaikan ritme tangannya agar menciptakan harmoni di atas kanvas. Memaafkan merupakan sebuah proses, yang tentu saja tidak instan, melibatkan pemahaman diri, pengelolaan emosi, dan pengambilan keputusan. Kata lainnya adalah perlu kesabaran. Kita perlu mencari cara memaafkan yang paling sesuai dengan diri kita. Kenapa? karena setiap orang memiliki proses memaafkan yang berbeda, tergantung pada pengalaman dan kapasitas emosionalnya.

 Prosesnya mungkin tidak selalu mulus, kadang ada goresan yang salah atau warna yang tercampur tidak sesuai, tapi itulah bagian dari proses menciptakan keindahan. Memaafkan juga sama seperti melukis, dimana hasil akhirnya bukan untuk menyenangkan orang lain, tetapi untuk menciptakan ketenangan dan kebebasan batin dalam diri sendiri. Seperti halnya pelukis yang puas dengan hasil karya ciptaannya, tanpa peduli bagaimana pendapat orang yang melihatnya.

Bagaimana psikologi mendefinisikan konsep memaafkan?

Dalam kacamata psikologi, memaafkan adalah proses yang disengaja di mana kita, sebagai orang yang tersakiti, secara sadar memilih untuk mengubah pikiran, perasaan dan sikap kita terhadap pelaku atau orang yang menyakiti kita, dengan beralih dari rasa marah, kebencian, atau kepahitan ke emosi yang lebih netral atau bahkan positif. Selain itu, kita juga melepaskan dampak dari kejadian tersebut yang bertujuan untuk membebaskan diri dari beban emosional. Singkatnya, memaafkan itu adalah proses personal kita untuk kita sendiri. Memaafkan adalah proses yang berfokus pada penyembuhan dan ketenangan diri sendiri terlebih dahulu. 

Memaafkan = melupakan?

Memaafkan itu gak sama dengan melupakan. Memaafkan bukan berarti harus melupakan kejadian tersebut. Otak kita memang dirancang untuk mengingat pengalaman, terutama yang emosional, karena itu bagian dari mekanisme bertahan hidup. Kalau kita pernah terluka, otak kita akan mengingatnya supaya kita bisa lebih waspada kalau kejadian serupa terjadi lagi di masa depan.

Sebaliknya, memaksakan diri justru bikin kita:

  • Menekan emosi → Bukannya hilang, emosi itu malah bisa muncul kembali dalam bentuk kecemasan, stres, atau ketakutan.  Kalau  emosi itu terus ditekan, luka itu bisa muncul lagi dalam bentuk stres, sulit percaya sama orang, atau bahkan trauma. Sewaktu-waktu bisa meledak akibat kejadian kecil!
  • Numpuk luka batin → Bisa berdampak pada kondisi fisik kita, dan membuat proses memaafkan jadi lambat
  • Kehilangan pelajaran → Kita jadi kehilangan kesempatan untuk bisa belajar dari pengalaman buruk, yang bisa dijadikan bekal untuk melindungi diri di masa depan.

Jadi, sebenarnya kita tetap ingat kejadian menyakitkan tersebut, tapi kita sudah nggak lagi merasa sakit atau marah saat mengingatnya, karena kita sudah berdamai dengan perasaan itu.

Memaafkan = mengampuni atau membenarkan tindakan pelaku?

Perlu diingat kembali bahwa memaafkan adalah proses personal yang kita lakukan untuk diri kita sendiri. Memaafkan bukan semata-mata untuk menyenangkan atau membebaskan orang yang telah menyakiti kita. Kamu pasti pernah mendengar tentang kasus kriminal, misalnya kasus pembunuhan. Terkadang, keluarga korban menyampaikan kepada media bahwa mereka telah memaafkan pelaku, namun pelaku tetap harus menjalani proses hukum.

Memaafkan yang mereka maksud adalah upaya untuk menerima dengan lapang dada atau ikhlas atas apa yang telah terjadi dan menimpa mereka. Pemaafan tersebut sebenarnya adalah proses untuk diri mereka sendiri, di mana mereka berusaha "menyelamatkan" kondisi emosional mereka terlebih dahulu. Mereka berusaha menjaga stabilitas emosi agar tidak terbebani oleh luka batin yang dapat memperberat hidup dan menghambat proses pemulihan.  Pemaafan ini bukan berarti keluarga korban merasa bersimpati atau kasihan dengan pelaku. Sementara bagi pelaku, hukum tetap harus berjalan. Sekalipun keluarga korban telah menyatakan pemaafan pada pelaku, bukan berarti tindakannya lantas "tidak jadi dipertanggungjawabkan".

Jadi, memaafkan itu soal menyembuhkan diri sendiri, bukan berarti kita membiarkan pelaku untuk bebas atau tidak mempertanggungjawabkan tindakannya.

Memaafkan = kembali menjalin hubungan?

sumber: unsplash.com/heftiba

Kita bisa memaafkan tanpa harus berhubungan kembali dengan orang tersebut. Memaafkan adalah proses personal untuk melepaskan luka, bukan kewajiban untuk kembali dekat dengan orang yang menyakiti kita. Kita bisa memaafkan seseorang untuk menenangkan diri sendiri, melepaskan beban emosi, dan menyembuhkan luka batin, tapi itu tidak berarti kita harus kembali dekat dengan orang tersebut.

Kalau teman mengkhianati kita, kita bisa memaafkan supaya hati kita nggak terus-menerus sakit. Tapi kita tidak wajib untuk berteman lagi dengannya atau mempercayainya kembali. Kalau pasangan menyakiti kita berulang kali, kita bisa memilih untuk memaafkan agar tidak menyimpan dendam, tapi tetap menjaga jarak demi melindungi diri sendiri. Memaafkan tidak berarti kita harus bertahan dalam hubungan yang toksik. Kita juga tetap harus menjaga batasan dan melindungi diri dari situasi yang merugikan. Jadi, memaafkan itu soal menyembuhkan diri sendiri, bukan berarti kita harus memberi orang itu kesempatan kedua atau memperbaiki hubungan yang sudah rusak.

Sebagian orang merasa sulit untuk memaafkan. Apa faktor-faktor psikologis yang mempengaruhinya?

Inilah beberapa alasan yang mungkin melatarbelakangi sebab seseorang jadi sulit banget untuk memaafkan:

  • Luka emosional yang dalam – Kalau sakitnya masih terasa, wajar banget kalau sulit memaafkan.
  • Perasaan kehilangan keadilan – Kita merasa tidak adil kalau memaafkan tanpa adanya permintaan maaf atau pertanggungjawaban dari orang yang menyakiti kita.
  • Takut disakiti lagi – Rasa takut kalau situasi yang sama bakal terulang bikin kita defensif.
  • Ego dan harga diri – Kadang memaafkan terasa seperti "kalah" atau dianggap lemah.

Gimana kalau orangnya tidak mau mengakui kesalahan?

sumber: unsplash.com/silverkblack

Kalau orang yang menyakiti kita tidak mengakui kesalahannya atau bahkan tidak merasa bersalah, itu memang bisa bikin proses memaafkan jadi lebih sulit. Tapi ingat, memaafkan tetap tentang diri kita sendiri, bukan tentang orang itu.

Kalau kita menunggu pengakuan atau permintaan maaf dari orang yang menyakiti kita, kita bisa terjebak dalam ketergantungan emosional. Kita bergantung pada sikap orang lain untuk bisa merasa lega atau sembuh. Jadi, kalau mereka tidak pernah meminta maaf atau mengakui kesalahannya, kita juga akan lama sembuh karena merasa terus diselimuti dengan rasa marah, sakit hati, dan terluka.

Memaafkan tanpa pengakuan itu berarti kita memilih untuk tidak membiarkan luka atau rasa sakit itu terus menguasai hidup kita. Ingat, memaafkan itu bukan tentang memaafkan mereka demi mereka, tapi demi ketenangan dan kesehatan mental kita sendiri. Kita memaafkan supaya hati kita sendiri jadi lebih ringan/lega karena melepaskan beban emosional yang ada di dalam diri kita sendiri. Pada akhirnya, kita juga memberi kesempatan pada diri sendiri untuk move on dan hidup dengan lebih tenang

Gimana kalau kita yang justru gak mau memaafkan pelaku, bahkan meski dia sudah meminta maaf? 

Sebenernya bebas aja, kamu mau memaafkan atau tidak. Beberapa orang juga memilih memaafkan tapi hanya di mulut saja. Tapi kamu perlu tahu bahwa kalau terus menyimpan rasa sakit/luka/dendam, maka ada dampak yang kamu rasakan

  • Stres → Perasaan tertekan yang dipendam bisa membuat pikiran terus bekerja, sulit rileks, dan memicu ketegangan fisik
  • Gangguan Tidur → Pikiran yang belum terselesaikan bisa muncul saat mau tidur, menyebabkan sulit tidur atau tidur tidak nyenyak
  • Rasa Tidak Nyaman dalam Hubungan → Ketika rasa sakit atau kekecewaan belum benar-benar hilang, hubungan bisa terasa canggung, kaku, atau muncul ketidakpercayaan.

Jadi, jangan sampai kamu merugi dua kali. 

Kalau dibaca-baca dari awal, memaafkan ini kesannya egois ya, seperti mementingkan diri kita sendiri?

sumber: unsplash.com/giulia_bertelli

Yaaaa, sebenarnya bisa dibilang begitu. tapi egois disini dalam arti yang positif. Lagipula yang tersakiti kan kita. Wajar dong kalau kita berhak didahulukan untuk diobati? Memaafkan itu memang bisa tampak "egois" karena kita memprioritaskan kesejahteraan emosional kita sendiri. Tapi justru ini adalah bentuk self-care yang sehat. Kita gak akan bisa berfungsi maksimal untuk orang lain, kalau kita sendiri gak sejahtera. 

Apa kaitannya memaafkan dengan mindfulness?

Memaafkan dan mindfulness memiliki keterkaitan yang erat karena keduanya berfokus pada kesadaran diri dan penerimaan terhadap pengalaman emosional tanpa terjebak dalam reaksi negatif. Dengan mindfulness, kita mampu melepaskan rasa dendam dengan menerima bahwa kita tidak bisa mengubah masa lalu. Kita juga lebih mudah untuk mengatur respons emosional dengan tetap tenang dan sadar saat memikirkan orang yang menyakiti kita. Selain itu, kita bisa mengembangkan empati dan belas kasih terhadap diri sendiri dan orang lain tanpa terjebak dalam rasa sakit.

Jadi, mindfulness itu menciptakan ruang mental dan emosional yang memungkinkan seseorang untuk memaafkan dengan tulus, tanpa merasa tertekan atau dipaksa. Dengan mindfulness, kita jadi lebih bisa menerima kenyataan dan melepaskan hal-hal yang di luar kendali

Apa langkah-langkah yang bisa dilakukan seseorang agar lebih mudah mempraktikkan sikap memaafkan dalam kehidupan sehari-hari?

Sadarilah bahwa memaafkan adalah sebuah proses. Namanya proses, tentu kita melakukannya secara bertahap satu per satu. Kamu juga perlu memvalidasi perasaanmu. Akuilah rasa sakitnya. Kalau kita tidak mengakui rasa sakit kita sendiri alias denial, itu bisa jadi masalah besar untuk kesehatan mental kita. Denial sendiri merupakan mekanisme pertahanan diri di mana kita menolak untuk mengakui atau menerima kenyataan yang menyakitkan. Biasanya, kita denial untuk melindungi diri dari rasa sakit atau menghindari emosi yang sulit. Tapi kalau terus-menerus menyangkal, dampaknya bisa berpengaruh pada kesehatan mental. Emosi jadi terpendam dan tersimpan di alam bawah sadar. Lama-lama, emosi ini bisa muncul dalam bentuk kecemasan, mudah tersinggung, atau ledakan emosi yang tidak terduga.

Bagaimana peran empati dalam proses memaafkan?

sumber: unsplash.com/jontyson

Empati membantu kita melihat situasi dari sudut pandang orang lain. Ini bikin kita lebih mudah memahami kenapa seseorang bertindak menyakitkan, walau tetap nggak membenarkan perilakunya, ya. Empati bisa mempercepat proses memaafkan karena kita jadi lebih bisa menerima kenyataan.

So, memaafkan itu memang gak mudah. Tapi, bukan berarti mustahil untuk dilakukan. Ingat, memaafkan itu demi dirimu sendiri, bukan untuk memuaskan orang lain!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Film Psikologi Hari Ini: Dua Hati Biru (2024)

Review Film Psikologi Hari Ini: Joker: Folie à Deux (2024)

Review Film Psikologi Hari Ini: Inside Out 2, Pubertas Riley hingga Anxiety Attack! (2024)