9 Fakta Menjadi Guru Pendamping Khusus untuk Siswa Disabilitas. Nomor 9 bikin Heran!
Menjadi seorang guru itu adalah cita-cita yang enggak pernah terpikirkan sejak dulu. Kalau dulu, guru menjadi cita-cita mainstream semua anak, sepertinya waktu itu cita-citaku adalah desainer baju (lalu pupus karena aku ternyata hanya suka menggambar, tapi enggak suka menjahit. Setelah belajar psikologi, aku mengomel pada mamaku, kenapa dulu enggak diajak ngobrol atau diberikan opsi untuk jurusan gambar atau les menjahit haha) Hingga saat SMP, cita-citaku berubah menjadi psikolog.
Apakah aku menyesal, bekerja sebagai guru pendamping khusus? Engga sama sekali! Bukan berarti aku berminat atau ingin berkarir selamanya disini, ya. Aku tetap ingin menjadi psikolog. Tapiiii, ini menambah wawasanku terkait anak berkebutuhan khusus beserta dengan tantangan dan ekspektasinya, yang mungkin saja bisa menjadi nilai tambah saat nanti menjadi psikolog. Mungkin saja kan, jika aku harus berhadapan dengan siswa bahkan orangtuanya?
Gimana rasanya menjadi guru inklusi? Wah, aku dicap sebagai guru tersabar seantero sekolah. Mantap, kan? Hahaha.
Mungkin, aku akan mulai dengan kalimat,
"jika aku enggak menjadi guru pendamping khusus/inklusi, maka aku enggak akan tahu kalau..."
1. Program ini adalah ide yang bagus tapi dalam pelaksanaannya masih perlu diawasi dan diperhatikan.
Bagaimana enggak? Kurikulumnya bingung, penilaiannya juga bingung. Sekolah atau adanya program inklusi ini kan diciptakan awalnya supaya siswa itu bisa bersekolah di sekolah umum/reguler dengan kurikulum yang disesuaikan juga. Alhasil, seringkali bapak ibu guru reguler kesulitan untuk memberikan materi maupun penilaian pada siswa berkebutuhan khusus, karena enggak ada patokan/panduannya.
Jangan kira kita enggak melakukan action apa-apa, lho. Kita tegur, namun sepertinya mereka abai saja. "Siapalah guru itu? Hanya mengajar siswa berkebutuhan khusus, enggak ngaruh dalam nilaiku", pikirnya. Tapi tentu masih banyak siswa yang enggak usil dan justru peduli pada siswa berkebutuhan khusus. Kalau kalian membaca ini, thanks for you, guys.
3. Enggak semua wali murid memahami anaknya sendiri dan keinklusiannya.
Ada wali murid yang kerap menuntut tinggi anaknya, tanpa melihat bagaimana kemampuan anak. Beliau memaksakan ingin anaknya masuk ke kelas reguler full dengan berbekal kemampuan matematika taraf SMP dan keterampilan. Padahal untuk jenjang SMK, enggak bisa hanya mengandalkan dua itu.
Disisi lain, ada wali murid yang underestimate dengan kemampuan siswanya, sehingga kerap ragu dan melarang. Tugasku sebagai gurunya adalah menyampaikan kelebihan tersebut kepada orangtua dan memberikan alternatif cara untuk mengembangkannya.
4. Wali murid siswa berkebutuhan khusus itu loyal dengan guru inklusinya.
Semua wali murid itu baik pada kita, tapi ada beberapa yang sangat loyal. Sering memberikan makanan atau jajan, sebagai ungkapan terimakasih karena telah membantu anaknya untuk berkembang. Dan jangan heran kalau kita akan lebih sering berkomunikasi dengan mereka like everyday everytime. Pun, mereka adalah wali murid yang juga support penuh untuk anaknya. Salut!
5. Beberapa wali murid siswa berkebutuhan khusus juga sepertinya mengalami hambatan yang sama dengan anaknya.
Jadi, siswa berkebutuhan khusus juga bisa terjadi karena genetik atau keturunan. Beberapa wali murid yang ku temui, sepertinya juga mengalami hambatan atau permasalahan yang sama. Contohnya seperti kesulitan berpikir dan memahami, atau berkomunikasi.
Bisa juga karena modelling. Contohnya seperti siswa ini kesulitan dalam membaca, karena ternyata wali murid tersebut juga kesulitan untuk menulis dan membaca. Alhasil enggak ada yang memandu siswa untuk belajar di rumah.
6. Wali murid dengan anak berkebutuhan khusus kerap dihantui dengan pikiran "kalau saya meninggal, nanti anak saya gimana nasibnya ya?".
Hampir semua wali murid menyampaikan kekhawatiran ini ke aku. Aku juga kadang memikirkan hal yang sama, seperti, sampai kapan mereka akan dibantu atau dilindungi? Bagaimana ketika mereka bekerja lalu dijahati orang? Gimana saat mereka menjalin rumah tangga nantinya?
Salah satu cara yang kulakukan adalah menenangkannya secara verbal, seperti konseling dan sebagainya. Sementara action nya adalah dengan memberikan mereka keterampilan yang sekiranya bisa mereka manfaatkan nantinya, seperti kemampuan mengoperasikan komputer.
7. Wali murid hanya menginginkan jika anaknya kelak bisa mandiri.
Terkadang wali murid meminta aku untuk memasukkan pelajaran life skill. Harapan mereka adalah, anak-anak bisa mandiri kelak dalam menjalankan kehidupannya. Jadi kalau ada yang tanya, apa yang aku ajarkan ke mereka? Apalagi tadi sudah disinggung jika enggak ada buku khususnya?
Aku mengajarkan salah satunya adalah uang. Definisi uang, cara yang baik mendapatkan uang, menghitung hingga mengelola uang.
Ingat, masih ada tempat yang lebih tepat untuk siswa dengan disabilitas yang tergolong berat, yaitu Sekolah Luar Biasa (SLB). Jangan salah, dengan memilih SLB yang bagus, mereka justru bisa dikembangkan sesuai tingkatannya. Fasilitas lengkap, jumlah guru yang lebih memadai, dan mungkin saja relasi dengan pihak luar.
Di sekolahku, hanya siswa dengan disabilitas slow learner saja yang diterima. Ini sudah dievaluasi berdasarkan kemampuan guru, jumlah guru, beban kegiatan sekolah seperti magang, fasilitas serta mobilitas di sekolah.
9. Sayangnya, masih ada yang mementingkan gengsi pribadi daripada menurunkan ego untuk melihat kemampuan dan kebutuhan anak.
Ada beberapa wali murid yang memaksakan diri dan juga anaknya, untuk sekolah di tempatku bekerja. Padahal disabilitasnya lumayan berat. Penyebabnya adalah karena nantinya ketika lulus, siswa berkebutuhan khusus tersebut tetap mendapatkan ijazah selayaknya reguler. Seakan-akan wali murid masih denial dengan kondisi anak mereka yang disabilitas. Atau kasarnya, mereka malu untuk sekolah di SLB (padahal ada SLB yang bagus juga, lo).
Aku masih ingat penyeleksian siswa inklusi untuk tahun ini di sekolahku. Ada siswa dengan disabilitas yang lumayan berat, dengan hambatan komunikasi dan fokus, yang mendaftar ke sekolah. Aku dan rekan kerjaku sudah menyampaikan mengapa siswanya enggak bisa bergabung di sekolahku (tentunya setelah membaca tes IQ serta melakukan asesmen berupa tes akademik dan motorik, lo), beserta saran sekolah mana yang lebih tepat untuk siswanya. Hingga tercetus ucapan dari beliau "saya inginnya di sekolah ini" (oh, jadi anda yang ingin? Hehe).
Bahkan wali murid tersebut sampai berani datang menemui kepala sekolah sambil membawa seseorang dengan "jabatan". Yah u know lah maksudnya. Padahal aku juga sudah menyampaikan mengenai kebijakan dan biaya di SLB (salah satu rekan kerjaku dulunya pernah bekerja di SLB, jadi dia yang menyampaikan). Siapa tahu mereka keberatan di biayanya. Namun tentu ada juga wali murid yang berbesar hati menerima masukan dan saran dari kita mengenai sekolah yang lebih pas untuk anaknya.
"jika aku enggak menjadi guru pendamping khusus/inklusi, maka aku enggak akan tahu kalau..."
1. Program ini adalah ide yang bagus tapi dalam pelaksanaannya masih perlu diawasi dan diperhatikan.
Bagaimana enggak? Kurikulumnya bingung, penilaiannya juga bingung. Sekolah atau adanya program inklusi ini kan diciptakan awalnya supaya siswa itu bisa bersekolah di sekolah umum/reguler dengan kurikulum yang disesuaikan juga. Alhasil, seringkali bapak ibu guru reguler kesulitan untuk memberikan materi maupun penilaian pada siswa berkebutuhan khusus, karena enggak ada patokan/panduannya.
Begitupun dengan materi umum yang diturunkan tingkat kesulitannya, sehingga siswa inklusi bisa lebih memahami. Diturunkan yang seperti apa? Seberapa turun dari materi aslinya? Mungkin kita lupa, jika enggak semua bapak ibu guru berasal dari jurusan pendidikan yang mempelajari siswa berkebutuhan khusus. Apakah salah mereka? Enggak juga.
2. Terkadang ada juga murid reguler yang meremehkan guru inklusi.
Yup, karena seakan hanya kita yang mau membantu atau mengurus siswa berkebutuhan khusus tersebut. Kesannya, kamu mengurus mereka, maka kamu sendiri juga enggak penting, sebenarnya. Ini sedih, sih. Tapi aku dan rekan kerjaku beberapa kali merasakannya. Bahkan murid reguler kadang mengolok siswa inklusi secara non-verbal di depan kita, sebagai gurunya.
2. Terkadang ada juga murid reguler yang meremehkan guru inklusi.
Yup, karena seakan hanya kita yang mau membantu atau mengurus siswa berkebutuhan khusus tersebut. Kesannya, kamu mengurus mereka, maka kamu sendiri juga enggak penting, sebenarnya. Ini sedih, sih. Tapi aku dan rekan kerjaku beberapa kali merasakannya. Bahkan murid reguler kadang mengolok siswa inklusi secara non-verbal di depan kita, sebagai gurunya.
3. Enggak semua wali murid memahami anaknya sendiri dan keinklusiannya.
Ada wali murid yang kerap menuntut tinggi anaknya, tanpa melihat bagaimana kemampuan anak. Beliau memaksakan ingin anaknya masuk ke kelas reguler full dengan berbekal kemampuan matematika taraf SMP dan keterampilan. Padahal untuk jenjang SMK, enggak bisa hanya mengandalkan dua itu.
![]() |
sumber: unsplash.com/@nathananderson |
Atau wali murid yang enggak memahami bagaimana kondisi pendidikan inklusi di Indonesia yang masih belum matang, sehingga kadang kami sebagai gurunya perlu improvisasi sendiri. Mereka kerap menuntut sesuatu yang diawali dengan "harusnya.." dan kerap kuakhiri dengan "iya bapak/ibu, dari pusatnya seperti ini..."
4. Wali murid siswa berkebutuhan khusus itu loyal dengan guru inklusinya.
Semua wali murid itu baik pada kita, tapi ada beberapa yang sangat loyal. Sering memberikan makanan atau jajan, sebagai ungkapan terimakasih karena telah membantu anaknya untuk berkembang. Dan jangan heran kalau kita akan lebih sering berkomunikasi dengan mereka like everyday everytime. Pun, mereka adalah wali murid yang juga support penuh untuk anaknya. Salut!
5. Beberapa wali murid siswa berkebutuhan khusus juga sepertinya mengalami hambatan yang sama dengan anaknya.
Jadi, siswa berkebutuhan khusus juga bisa terjadi karena genetik atau keturunan. Beberapa wali murid yang ku temui, sepertinya juga mengalami hambatan atau permasalahan yang sama. Contohnya seperti kesulitan berpikir dan memahami, atau berkomunikasi.
6. Wali murid dengan anak berkebutuhan khusus kerap dihantui dengan pikiran "kalau saya meninggal, nanti anak saya gimana nasibnya ya?".
Hampir semua wali murid menyampaikan kekhawatiran ini ke aku. Aku juga kadang memikirkan hal yang sama, seperti, sampai kapan mereka akan dibantu atau dilindungi? Bagaimana ketika mereka bekerja lalu dijahati orang? Gimana saat mereka menjalin rumah tangga nantinya?
Salah satu cara yang kulakukan adalah menenangkannya secara verbal, seperti konseling dan sebagainya. Sementara action nya adalah dengan memberikan mereka keterampilan yang sekiranya bisa mereka manfaatkan nantinya, seperti kemampuan mengoperasikan komputer.
7. Wali murid hanya menginginkan jika anaknya kelak bisa mandiri.
Terkadang wali murid meminta aku untuk memasukkan pelajaran life skill. Harapan mereka adalah, anak-anak bisa mandiri kelak dalam menjalankan kehidupannya. Jadi kalau ada yang tanya, apa yang aku ajarkan ke mereka? Apalagi tadi sudah disinggung jika enggak ada buku khususnya?
Aku mengajarkan salah satunya adalah uang. Definisi uang, cara yang baik mendapatkan uang, menghitung hingga mengelola uang.
Contoh lain adakah aku mengajari mereka membuat CV dan surat lamaran kerja. Mereka enggak muluk-muluk ingin anaknya juara 1 matematika atau menguasai fisika. Toh juga waktunya enggak cukup lagi, karena ini sudah di jenjang pendidikan wajib yang akhir.
8. Sebaiknya dilakukan penyeleksian untuk siswa disabilitas yang masuk ke sekolah inklusi.
Dibukanya sekolah atau program inklusi, enggak serta merta langsung membuat semua anak berkebutuhan khusus "bisa" sekolah disana. Memang enggak ada yang melarang secara tertulis seperti peraturan dari pusat (ini salah satu contoh ketidakmatangannya), namun tentu kita melakukan evaluasi dari bagaimana pada akhirnya siswa tersebut menjalankan pendidikannya di sekolah, kesulitannya, dan sebagainya. Pada akhirnya, ada beberapa disabilitas yang dirasa akan kurang mampu bahkan kesulitan sekali untuk menjalaninya.
8. Sebaiknya dilakukan penyeleksian untuk siswa disabilitas yang masuk ke sekolah inklusi.
Dibukanya sekolah atau program inklusi, enggak serta merta langsung membuat semua anak berkebutuhan khusus "bisa" sekolah disana. Memang enggak ada yang melarang secara tertulis seperti peraturan dari pusat (ini salah satu contoh ketidakmatangannya), namun tentu kita melakukan evaluasi dari bagaimana pada akhirnya siswa tersebut menjalankan pendidikannya di sekolah, kesulitannya, dan sebagainya. Pada akhirnya, ada beberapa disabilitas yang dirasa akan kurang mampu bahkan kesulitan sekali untuk menjalaninya.
9. Sayangnya, masih ada yang mementingkan gengsi pribadi daripada menurunkan ego untuk melihat kemampuan dan kebutuhan anak.
Ada beberapa wali murid yang memaksakan diri dan juga anaknya, untuk sekolah di tempatku bekerja. Padahal disabilitasnya lumayan berat. Penyebabnya adalah karena nantinya ketika lulus, siswa berkebutuhan khusus tersebut tetap mendapatkan ijazah selayaknya reguler. Seakan-akan wali murid masih denial dengan kondisi anak mereka yang disabilitas. Atau kasarnya, mereka malu untuk sekolah di SLB (padahal ada SLB yang bagus juga, lo).
Itulah dia 9 fakta menarik menjadi guru inklusi. Nano-nano, bukan? Nomor berapa yang membuatmu terkejut terheran-heran?
Komentar
Posting Komentar