Menjadi Psikolog: Cita-cita Langgeng dari SMP, gara-gara BK!
![]() |
sumberL unsplash.com/@totalshape |
Kali ini aku ingin sekedar sharing saja mengenai cita-citaku sebagai psikolog, yang sudah kudambakan sejak SMP. Bagaimana sejarahnya dan bagaimana kondisiku sekarang saat mencoba meraihnya (haha) Fyi, aku saat ini bekerja sebagai guru pendamping khusus (GPK) atau yang biasa disebut guru inklusi. Aku menjadi guru untuk siswa berkebutuhan khusus di jenjang sekolah menengah atas kejuruan. Gimana rasanya menjadi guru inklusi? Nano-nano, sih. Silakan baca curhatan saya di sini, ya!
Di setiap sekolah pasti ada guru BK. Biasanya siswa justru takut atau menjauh dari guru BK, terutama yang bandel dan suka melanggar aturan sekolah. Berbeda denganku saat duduk di bangku SMP, yang entah kenapa sangat bestie dengan guru BK. Awal mula dulu aku sakit, lalu tidur di UKS. UKS nya bersebelahan dengan ruangan BK. Kadang setelah badanku lebih enakan, aku ke ruangan sebelah untuk duduk dan mengisi beberapa administrasi izin kelas.
Pernah suatu kali aku dan temanku ngobrol dengan guru BK, dan beliau berhasil "menebak" ku dengan benar. Contohnya paling simple adalah "kamu orangnya bla bla bla, ya? Kamu pasti anu ya?" dan itu benar.
Dulu internet belum semudah sekarang, bahkan kita belum bisa menggunakannya dengan benar (haha). Jadi tebakan benar tanpa kuberitahu adalah hal yang unik dan mengesankan. Dadi situlah aku mulai bertanya-tanya, kenapa bisa betul tebakannya? Guru BK menjawab, "ada ilmunya. Namanya ilmu psikologi"
Dari situlah obrolan tentang psikologi, jurusan kuliah, psikolog, dan sebagainya berlangsung.
Saat SMA pun, aku kembali bestie-an sama guru BK dan menyampaikan keinginanku untuk jadi psikolog. Sampai akhirnya diarahkan untuk ambil jurusan psikologi. Dengan segala lika-likunya, aku berhasil meraih gelar S.Psi dengan waktu normal 4 tahun dan IPK standar aja (haha). Bayangan untuk menjadi psikolog menjadi terbayang jelas.
Ternyata, untuk menjadi psikolog enggak semudah itu. Enggak bisa setelah lulus S1 langsung mendapatkan gelar sebagai psikolog. Ini dibuktikan dengan beberapa lowongan kerja untuk menjadi psikolog, yang syaratnya adalah telah menempuh S2, memiliki izin praktek, dan sebagainya. Omg.
Oke, baiklah. Saat ini posisiku sedang menempuh pendidikan S2 magister psikologi profesi. Nantinya setelah lulus, aku dapat dua gelar sekaligus yaitu M.Psi, Psikolog. Yup, aku ambil S2 supaya bisa menjadi psikolog dan berpraktek.
Yang terkini, ternyata ada perubahan program. Kata dosen maupun para senior psikolog, dulunya psikologi itu enggak dibuat gabung magister dan profesi. Dulunya ketika kamu lulus S1 psikologi, kamu punya pilihan untuk lanjut S2 tanpa profesi, atau mengambil profesi tanpa S2. Gak yang harus paket lengkap seperti yang kujalani sekarang. Jadi kalau kamu ingin langsung berpraktek, maka setelah dari S1 psikologi, langsung ambil program profesi. Gelar yang didapat adalah (nama), S.Psi, Psikolog.
Tapi kalau kamu enggak berminat untuk berpraktek, mungkin lebih condong menjadi dosen misalnya, kamu bisa ambil magister psikologi (S2). Gelar yang didapat adalah (nama), M.Psi.
Maka dari itulah, kamu enggak bisa langsung bekerja sebagai psikolog pasca lulus S1 psikologi. Akan tetapi, tentu ada beberapa pekerjaan yang terbuka bagi lulusan S1 psikologi. Mayoritas pekerjaan yang ketemui adalah HRD di perusahaan. Ini adalah salah satu contoh lapangan pekerjaan dari peminatan PIO (Psikologi Industri dan Organisasi). Sementara aku berasal dari peminatan klinis, yang sialnya belum bisa terwujudkan saat ini. Sehingga, aku mencoba mencari alternatif pekerjaan lainnya. Akhirnya nyasarlah menjadi guru inklusi tadi. Cerita selengkapnya baca di sini, ya!
Alhasil, aku adalah dua angkatan terakhir yang masih mengambil program paket magister profesi psikologi. Tuntutannya adalah aku harus lulus di tahun 2025 kelak (paling lambat), karena programnya sudah tutup. Yah, wish me luck, deh!
Komentar
Posting Komentar